Aku Mengenalnya Sudah Cukup Lama

Aku mengenalnya sudah cukup lama. Mungkin sekitar tiga tahun atau lebih. Well, bukannya orang yang sedang jatuh cinta rasanya kita mengenal seseorang terasa lebih lama? Aku bertemu dengannya seperti adegan sinetron picisan yang sering diputar di layar televisi. Waktu itu, aku bergegas menuju kelas terakhir di hari Selasa. Aku melihat sekilas ke lengan kananku, oh, sudah pukul 4.30 sore. Pantas, kampus tampak jauh lebih sepi.

Aku mengenalnya sudah cukup lama. Aku berlari kecil sambil membawa dua buah buku di tangan kiri dan satu helai gorengan tempe mendoan di tangan kanan. Lalu entah darimana tiba-tiba kamu muncul dari arah berlawan. Kita bertabrakan dan saling bertatapan. Sialan, tempe mendoan aku jatuh ke lantai yang tampaknya belum dibersihkan sejak kemarin, padahal itu jatah makan malamku.

“Maaf, aku tak sengaja”. Ah, aku tak peduli dengan tatapan matamu yang bening di balik kacamata bundar, aku tak peduli dengan ponimu yang jatuh rapi, aku tak peduli dengan suaramu yang seperti berbisik tepat di telingaku, aku… Hm tapi wajah kikukmu membuatku tertarik. “Hi, boleh kenalan?”. Itu kata yang keluar pertama kali dari mulutku yang bergegas menghabiskan tempe mendoan yang masih tersisa di sela gigi. Ya, aku mengenal tempe mendoan sudah cukup lama juga, sih.

Sejak saat itu kita tak terpisahkan. Sarapan berdua berbagi nasi uduk di tangga kampus lantai 4 yang tersembunyi sambil berbagi earphone mendengarkan album favorit kita. Makan siang berdua disela-sela kesibukan tugas kampus yang terkadang membuat aku berpikir, memangnya menghitung algoritma akan terpakai nantinya? Toh aku tak pernah mau bekerja sesuai jurusanku nantinya. Atau malam-malam panjang dimana kita berjalan bersisian sambil melompati genangan air yang kadang kamu dengan sengaja menekan kaki kirimu ke kubangan, lalu air akan berhamburan ke sepatuku. Kesal. Tapi aku cinta.

Aku mengenalnya sudah cukup lama. Makanya aku heran kenapa sore ini kamu belum terlihat di lobby kampus? Biasanya di hari ketiga setiap minggu, kamu akan menjemputku dengan motor modifikasi, helm berwarna cokelat kulit hadiah ulang tahunku untukmu, dan jaket jeans yang kadang aku berpikir, kapan kamu terakhir mencucinya? Harusnya hari ini jatah kita untuk menelusuri jalanan Jakarta sambil merasakan rambutku beterbangan diterpa angin dan kedua tanganku memeluk erat di pinggang. Tapi dia belum muncul.

Awan di atas kepala semakin menggelap. Matahari sudah malu untuk menunjukkan sinarnya. Duh, air hujan mulai turun sedikit deras dan percikannya bisa aku rasakan di wajahku. Aku mengenalnya sudah cukup lama. Biasanya kamu tidak pernah terlambat datang menjemputku. Kamu di mana, ya? Aku bergegas membuka tas, mencari payung kecil transparan oleh-oleh dari Jepang yang ujungnya sudah mulai kusut, dan berjalan cepat menuju pintu keluar. Sebaiknya aku menunggu di bawah pohon besar itu sambil berharap kamu akan melihatku dan kita bisa berteduh bersama-sama. Mungkin sambil makan cilok atau menceritakan hariku yang sebenarnya biasa saja.

Aku mengenalnya sudah cukup lama. Tapi entah kenapa kamu tidak pernah tiba. Iya, aku menunggumu sudah cukup lama. Sejak sepuluh tahun yang lalu, ketika tiba-tiba petir menyambar pohon besar diatasku, beban berat menimpa tubuhku, dan aliran air hujan menjadi bewarna merah darah ke berbagai arah. Yang aku tahu, aku mengenalnya sudah cukup lama. Aku akan terus menunggumu di sini. Sampai suatu saat kamu akan menjemputku. Di musim hujan yang sama, berharap kamu tak akan membiarkan aku sendirian.

Aku mengenalnya sudah cukup lama. Kamu paling suka dengan senandungku. Aku mulai menyanyikan satu dua bait lagu, lalu tubuhku melayang-layang, dan menghilang diam-diam ke balik bekas pohon besar dengan sekuntum bunga mawar merah di sampingnya, yang kamu bawa di setiap musim hujan. Untukku. (*)

Dimas-Novriandi_black_high-res

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.