Bukankah Bahagia Itu Seharusnya Sederhana?

Banyak hal yang bisa kita syukuri dalam hidup ini. Well, I have heard that so many times in my life. Saya percaya kamu pun demikian. Tetapi dalam hidup, kita terbiasa mensyukuri dan berbahagia karena pencapaian hal-hal ‘besar’. Keberhasilan, kerja keras, kepemilikan, dan sederet perolehan yang menjadi tujuan hidup.

Beberapa bulan yang lalu hidup saya seperti layaknya sebagian besar pekerja di Jakarta. Bangun pagi, menghabiskan waktu di kantor, lalu pulang ketika larut malam. Terkadang, kebahagiaan saya pun menjadi terukur hanya seluas layar telepon genggam. Saya menakar kebahagiaan hidup saya dengan apa yang dilakukan orang lain.

Sampai tiba-tiba saya jatuh sakit dan harus beristirahat total cukup lama. Rasanya kebahagiaan saya hilang begitu saja. Tetapi kebahagiaan yang mana? Saya pun berpikir.

Kalau saya tidak sakit, mungkin saya tak punya banyak waktu bercerita tentang banyak hal dengan kakak-kakak saya. Kalau saya tidak sakit, mungkin saya tak pernah sadar begitu perhatiannya sahabat-sahabat saya. Kalau saya tidak sakit, mungkin saya tak pernah sadar bahwa betapa berharganya kesehatan itu. Apa yang saya lalui pada masa itu mengajariku apa arti kesabaran, kasih sayang, dan mungkin, kebahagiaan itu sendiri.

Kita punya cara bahagia masing-masing dan bahagia itu sangat individual. Kita tidak berhak menilai orang lain kurang bahagia hanya karena mereka tidak memiliki pola pikir atau gaya hidup yang sama dengan kita.

Hidup ini bukanlah kompetisi. Siapa yang paling update di social media. Siapa yang paling jauh melakukan perjalanan keliling dunia. Siapa yang paling berhasil di antara teman sesama. Siapa yang paling bahagia.

Saya merasa, saya tidak harus memenangkan apapun karena tidak ada kompetisi. Saya jadi mencoba sejenak berhenti dan merasakan kebahagiaan dari sekeliling.

Bahagia itu ternyata penuh kesederhanaan. Seperti kiriman foto lucu dari sahabat, melihat pemandangan di luar jendela ketika perjalanan ke kantor, atau pun berterima kasih karena bisa tidur dengan nyaman dan bangun dengan keadaan lebih sehat keesokan hari.

Seorang teman pernah berkata,

“Kita bisa memilih untuk menjadi korban karena keadaan atau kita mensyukuri apa yang telah kita jalani dan apa yang akan kita hadapi ke depannya”.

Saya pun sekarang memilih untuk bersyukur untuk setiap detik yang saya jalani. Bukankah bahagia itu seharusnya sederhana? (*)

5 thoughts on “Bukankah Bahagia Itu Seharusnya Sederhana?”

  1. Bahagia itu apa?
    Jangan-jangan sebenernya kita ga perlu melulu bahagia. Semacam harus, ukuran kesuksesan hidup.

    Selalu suka tulisanmu, Dims.
    *duduk manis nunggu tulisan berikutnya

    Like

  2. Bahagia itu ukurannya beda” di setiap orang, ya sudahlah jangan paksakan ukuran orang lain untuk kita pakai. Belajar bersyukur dengan segala yang kita punya dan jangan selalu membandingkan hidup kita dengan hidup milik orang lain.

    Like

  3. Suka banget kak. Dan pas banget lagi sepemikiran.
    Bahagia buatku sekarang ini karena bisa punya pilihan mengatur waktu sendiri untuk bekerja. Bahkan kebebasan seperti ini juga kadang bisa ‘menghanyutkan’ dan menyeramkan kalau gak disiplin. Butuh disiplin. 😀
    Tapi iya, bahagiaku beda dengan bahagia orang lain.

    *peluk kak dimas*

    Like

  4. Bahagia itu adalah seneng dlm bhs jawa, dan happy dlm bhs inggris. Ada lg dlm bhsa francis houreux. dlm ejaan bahasa kita yg dsbut hore yuk. Brarti milik smua orng tnp trkcuali. Dlm bhs yunani eftyhismenos kl di eja bahasa kita jdny hati manis. Sdngkn bahagia di eja dlm bhs yunani yg tidak mengikut sertakan huruf vokal yaitu terdiri dari huruf beta, thetadan et. Kl kita eja dlm bahasa kta menjd hati beta.. ksmpulanny bhg itu adalah hati. Jd stiap yg pny hati berhak utk bahagia. Siapaun dan apapun itu…

    *berargumen*

    Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.